Sanksi Sosial atau Sanksi Hukum

 on Minggu, 23 Juni 2013  

Catatan Ringan. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah 188)

Korupsi adalah masalah utama di negeri kita.  Banyak bencana yang kita rasakan, sering bermuara pada korupsi.  Bencana alam, banjir, tanah longsor akibat pembabatan hutan (illegal logging) dan penambangan yang serakah.  Kedua kegiatan perusakan hutan ini bisa berjalan mulus karena adanya suap dan korupsi pada oknum di lembaga terkait.  Kerusakan jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya, seringkali terlalu cepat datangnya, padahal baru dibangun/diperbaiki, inipun kita mafhum disebabkan adanya korupsi di pelaksanaannya, bahkan sejak perencanaannya.  Mungkin masih terlalu banyak lagi contoh lain yang (tidak) bisa kita sebutkan satu persatu.

Kenapa hukuman bagi koruptor yang tertangkap tidak membuat jera dan malu (bahkan masih bisa tersenyum saat diliput media) serta tidak membuat takut para koruptor yang masih bisa sembunyi?.  Apakah korupsi dan juga perbuatan curang lainnya seperti pemalsuan barang dan penggunaan bahan makanan berbahaya dalam jual beli sudah dianggap biasa bagi masyarakat kita?

Coba kita perhatikan perilaku sebagian dari kita di masyarakat umum, betapa jelas terlihat penghormatan kepada orang kaya lebih terasa dibanding dengan orang biasa, apalagi miskin.  Tidak salah memang, bahkan dianjurkan menjadi kaya.

Pernah saya baca sebuah tulisan/artikel menarik di sebuah koran, terselip kisah (anekdot) tentang guru. Kalau dulu orang yang memiliki mantu seorang guru bila ditanya apa pekerjaan mantunya, maka jawabannya: “cuma seorang guru.”  Sekarang jawabannya bila ditanya tentang mantunya: “alhamdulillah, dapat mantu guru.”
Begitulah kira-kira pandangan masyarakat terhadap profesi guru (dan pekerjaan lainnya), penilaiannya lebih banyak pada sisi materi, sekarang guru dinilai lebih baik (mungkin karena gajinya plus tunjangan sertifikasinya).

Kita pun sudah terbiasa dengan pemberian hadiah kepada seseorang yang berprestasi.  Setiap perlombaan, pemenangnya selalu mendapatkan hadiah yang menggiurkan.  Dalam skala yang lebih kecil, rumah tangga, orang tua akan memberikan hadiah atau minimal pujian bagi anaknya yang berprestasi.  Berprestasi bisa diartikan berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat didambakan, misalnya mendapat nilai tertinggi di sekolah atau di suatu lomba, menghasilkan kekayaan yang berlimpah dalam pekerjaan dan lain-lain.  Maka biasanya peraih nilai tertinggi akan mendapat hadiah, begitu juga seorang kaya raya akan mendapat penghormatan di masyarakat sebagai hadiahnya.  Pernahkah kita melihat sekolah atau sebuah lomba yang memberikan hadiah kepada muridnya atau peserta lombanya karena kerja keras dan kejujurannya dalam mencapai prestasi, bukan hasil akhirnya yang dinilai, mungkin belum ya?  Begitu pun, di masyarakat, sepertinya jarang kita temukan seorang pekerja keras dan penuh kejujuran dalam berusaha diberi penghormatan lebih dari masyarakat, kecuali kalau dia sudah kaya raya.  Prestasi sudah diartikan sempit sebatas materi saja, kerja keras dan kejujuran tidak termasuk di dalamnya, maka tidak heran dalam mengejar prestasi, orang akan mengabaikan cara yang baik dan jujur, yang penting tercapai tujuan.  Pendidikan dalam meraih prestasi ini secara tidak sadar sudah kita terima sejak kecil di dalam rumah tangga, berlanjut di sekolah dan terus berlanjut dipekerjaan.

Lihatlah anak-anak sekarang, kalau ditanya citi-citanya, akan lebih banyak yang memilih jadi artis (selebritis) dibandingkan ilmuwan, bisa jadi karena kekayaan materi artis lebih menonjol dibandingkan ilmuwan.  Bahkan kita dan anak-anak kita begitu memujanya pada idola yang seorang artis, meskipun kita tahu banyak dari artis idola tersebut tidak berprilaku baik bahkan pezina sekalipun. Bisa jadi terpilihnya artis sebagai idola masyarakat karena kepopulerannya (biasanya berbanding lurus dengan kekayaannya). Bandingkan anak-anak jaman dulu, kalau ditanya cita-citanya lebih banyak menyebut mau jadi dokter, insinyur, astronot atau pilot.  Sebuah pergeseran nilai yang banyak dipengaruhi materi.

Kalau bukan penilaian masyarakat yang lebih menyanjung orang kaya dibanding orang baik dan jujur, mungkin para koruptor dan pekerjaan kotor lainnya akan merasa malu kalau ketahuan berbuat curang.  Sanksi sosial terkadang lebih ampuh dari pada sanksi hukum.  Marilah kita berusaha memperbaiki kekurangan kita ini, meminjam istilah dari da’i AA Gym, “mulailah dari diri sendiri, mulailah dari yang kecil dan mulailah dari sekarang.” 

Yakinlah seseorang yang bekerja keras dan jujur dalam meraih sesuatu akan menghasikan sebuah prestasi yang akan berguna baginya dan bagi orang lain, itulah sebuah kesuksesan.

sanksi sosial bikin malu
Sanksi Sosial atau Sanksi Hukum 4.5 5 Share Minggu, 23 Juni 2013 Catatan Ringan. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) ka...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Catatan Ringan. All Rights Reserved.