Renungan Ramadhan 1434 H.

 on Rabu, 10 Juli 2013  

hilal, bulan baru atau bulan akhir, crescent

Catatan Ringan. Ramadhan di Indonesia memang unik, seringkali terjadi perbedaan penentuan awal puasa dan hari raya antar beberapa golongan (ormas islam).  Apa benar perbedaan itu rahmat?, padahal yang berbeda itu berhubungan dengan ibadah.
 QS. Ali Imran, ayat 104-105: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang yang mendapat azab yang berat.”

Seperti sudah diprediksi sebelumnya, Tahun 2013 inipun terjadi perbedaan lagi dalam penentuan awal Ramadhan 1434 H.  Ada baiknya kita simak pendapat dari Agus Mustofa (penulis buku Serial Diskusi Tasawuf Modern):

TENTANG perbedaan awal Ramadan ini sebenarnya saya sudah memprediksi sejak tahun lalu. Dan ini bukan hanya terjadi di tahun 2012 dan 2013, melainkan juga akan terjadi lagi tahun depan 2014. Bahkan juga sudah bisa diprediksi akan terjadi lagi di tahun-tahun mendatang dalam kurun ratusan atau ribuan tahun, jika umat Islam Indonesia masih menggunakan kedua metode yang sekarang menjadi acuan umat Islam Indonesia: Imkanur Rukyat & Wujudul Hilal.
Terjadinya perbedaan hasil antara kedua metode itu menjadi keniscayaan, karena keduanya memang memiliki kriteria yang berbeda. Namun, tanpa dibandingkan pun, ternyata masing-masing metode itu juga memiliki potensi yang membuat wilayah-wilayah Indonesia terbelah dalam menyikapi awal Ramadan. Khususnya, Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian timur, disebabkan oleh luasnya wilayah negara kepulauan ini.
Saya sudah melakukan simulasi perhitungan dengan menggunakan masing-masing metode itu. Ternyata, metode Imkanur Rukyat akan mengalami masalah perbedaan internal selama 9 kali dalam kurun waktu 30 tahun, sedangkan metode Wujudul Hilal memunculkan masalah sebanyak 6 kali.
Dalam kurun waktu 2010 – 2040, metode Imkanur Rukyat akan berpotensi membelah wilayah Indonesia bagian barat dan timur secara kontroversial pada tahun-tahun 2017, 2019, 2023, 2027,2028, 2029, 2030, 2032, 2037. Di bagian barat, hilal akan kelihatan, sedangkan di bagian timur hilal berpotensi tidak kelihatan. Sehingga, jika pun seluruh umat Islam Indonesia sudah bisa disatukan dengan menggunakan metode ini, potensi perbedaan itu technically masih akan terjadi.
Demikian pula dengan metode Wujudul Hilal. Dalam kurun waktu 30 tahun tersebut, akan terjadi potensi perbedaan selama enam kali, yakni pada tahun-tahun: 2013, 2014, 2022, 2024,2031, 2039. Tahun ini, metode Wujudul Hilal telah menunjukkan bukti itu. Bahwa, di saat maghrib 8 Juli 2013, bagi wilayah barat Indonesia hilal akan berada pada posisi di atas horison, tetapi di wilayah timur berada di bawah horison. Namun toh demikian, pengguna metode ini telah membuat keputusan untuk mengikutkan wilayah timur itu ke wilayah barat. Sehingga, permulaan puasanya jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013.
Ini berbeda dengan pengguna Imkanur Rukyat yang memulai puasanya pada Rabu, 10 Juli 2013. Tapi,di kemudian hari metode ini juga akan mengalami masalah senada pada tahun-tahun yang saya sebut di atas, sebanyak 9 kali dalam kurun 30 tahun.
Kedua metode itu memiliki potensi masalah dikarenakan menerapkan kriteria hilal di atas horison. Meskipun dalam derajat yang berbeda. Imkanur Rukyat mensyaratkan minimal 2 derajat di atas horison, sedangkan Wujudul hilal mensyaratkan berapa derajat pun di atas horison. Sebagai contoh, untuk tahun ini hilal awal Ramadan sebesar 0,75 derajat jika dilihat dari Jakarta. Bagi metode Wujudul Hilal, itu sudah cukup untuk menjadi tanda awal Ramadan. Tetapi, bagi Imkanur Rukyat belum cukup.
Untuk menyelesaikan masalah teknis ini saya telah mengajukan metode rukyat bil ‘ilmi  sebagai jalan tengah, yang saya sebut metode Ijtimak Qoblal Ghurub (IQG). Kriteria metode ini sangat sederhana, yakni hanya dengan menerapkan terjadinya ijtimak dan datangnya saat maghrib. Ijtimak alias konjungsi adalah peristiwa segarisnya antara matahari-bulan-bumi yang menandai habisnya bulan lama, dan menjadi penanda datangnya BULAN baru. Sedangkan waktu maghrib menjadi penanda datangnya HARI baru. Karena dalam kalender Hijriyah, pergantian hari bukan terjadi di tengah malam, melainkan setelah tenggelamnya matahari di waktu maghrib.
Maka, terkait dengan penetapan awal Ramadan tahun ini, semua metode menyepakati Ijtimak akhir Syakban terjadi pada Senin, 8 Juli 2013 sekitar pukul 14.15 wib. Sehingga, ini bisa dijadikan patokan, bahwa sesaat sesudahnya bulan Ramadan sudah datang. Namun, karena hari baru harus dimulai sesudah maghrib, maka seluruh rangkaian ibadah puasa pun baru bisa dimulai setelah maghrib. Tanpa mensyaratkan: apakah hilal sudah di atas horison atau di bawah horison, kelihatan mata ataupun tidak kelihatan.
Sangat sederhana. Dan sudah saya simulasikan, dalam kurun 2010 – 2040, sama sekali tidak memunculkan perbedaan interpretasi awal Ramadan bagi seluruh wilayah Indonesia. Bandingkan dengan metode Imkanur Rukyat yang bermasalah sebanyak 9 kali, dan metode Wujudul Hilal yang bermasalah sebanyak 6 kali, dalam kurun waktu yang sama.
Namun demikian, semuanya kembali kepada umat Islam sendiri. Apakah kontroversi ini mau kita akhiri sampai disini saja, sehingga umat bisa beribadah dengan tenang dan damai. Ataukah, memang sengaja ‘kita pelihara’ sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu, yang sesungguhnya sangat menyedihkan kita semua. Karena, sungguh dampaknya tidak hanya bersifat internal bagi umat Islam, melainkan juga negatif buat kepentingan syiar.
Kalau menyelesaikan masalah begini saja kita tidak bisa, apakah orang lain bakal percaya bahwa umat Islam bisa menjadi umat teladan dalam kehidupan? Sementara, Allah jelas-jelas sudah memberikan sinyal lewat firman-Nya, bahwa umat Islam semestinya adalah umat teladan bagi manusia seluruhnya. QS. Ali Imron (3): 110 – ‘’Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman (hanya) kepada Allah…’’

Tulisan berikut ini telah saya kirimkan kepada Presiden SBY, Kementerian Agama RI dan kantor-kantor Depag, MUI pusat dan daerah, LAPAN, BOSCHA, PB NU dan pengurus wilayahnya, PP Muhammadiyah dan pengurus wilayahnya, PERSIS, masjid-masjid Agung di berbagai kota, dan berbagai lembaga serta tokoh-tokoh yang terkait dengan penetapan awal Ramadan di negeri ini, serta sejumlah media massa.
Bersama ini, juga saya sertakan buku DTM-36: ‘Jangan Asal Ikut-ikutan HISAB & RUKYAT’ agar bisa memahami detil teknis usulan saya. Dengan harapan, mudah-mudahan menjadi bahan pertimbangan dalam sidang isbat tahun ini. Kalaupun karena ‘alasan politis’ tertentu ternyata tidak memungkinkan, mudah-mudahan bisa menjadi bahan diskusi untuk tahun depan, setidak-tidaknya di kalangan umat. Semoga Allah meridhai dan memberikan bimbingan kepada kita semua, khususnya umat Islam Indonesia dalam menyelesaikan ‘masalah kronis’ yang sudah berlangsung puluhan tahun ini.

Hampir pasti, awal Ramadan 1434 H tahun ini akan berbeda lagi. Muhammadiyah berdasar metode hisab hakiki Wujudul Hilal telah mengumumkan akan memulai awal Ramadan 1434 H pada 9 Juli 2013. Sedangkan NU, dengan metode Imkanur Rukyatnya, hampir bisa dipastikan akan memulai awal Ramadan pada 10 Juli, karena ketinggian hilal sangat tipis – di bawah 1 derajat– sehingga tidak akan terlihat oleh mata.
Saya termasuk orang yang sangat prihatin dengan kontroversi ‘khas Indonesia’ ini. Sehingga, terus menerus berusaha ikut memecahkan masalah ini, agar tidak berlarut-larut dan semakin berkembang menjadi ‘penyakit kronis’ bagi umat Islam. Termasuk, saya telah menerbitkan buku yang saya rilis bulan lalu: ‘Jangan Asal Ikut-ikutan HISAB & RUKYAT’,untuk memberikan solusi jalan tengah yang lebih obyektif dalam menyongsong Ramadan kali ini.
Saya mencoba menelusuri faktor utama yang menyebabkan kontroversi ini terus terjadi. Bahkan, bisa selamanya terjadi, jika masih menggunakan kedua metode tersebut di atas. Saya telah menemukan variable krusial yang menyebabkan kedua metode itu akan selalu menghadapi masalah di setiap penetapan Ramadan dan hari raya.
Yakni, kedua metode tersebut mengandung variable subyektif yang menjadikannya berbeda pada setiap orang yang mencoba menetapkan awal bulan. Baik yang menggunakan wujudul hilal, maupun yang imkanur rukyat. Saya melihat, jika faktor-faktor subyektif itu dihilangkan, Insya Allah kedua metode itu akan bertemu di satu titik yang sama, dengan sepenuhnya menjadi bersifat obyektif. Dan tidak kontroversial lagi, selamanya..!
Faktor apa sajakah yang subyektif pada metode Imkanur Rukyat dan Wujudul Hilal? Yang pertama, soal penetapan kriteria ketinggian hilal yang harus di atas 2 derajat, dengan usia 8 jam. Kriteria ini ditentukan dengan berdasar pada asumsi, bahwa dengan ketinggian hilal minimal 2 derajat dan usia bulan minimal 8 jam itu hilal pasti akan terlihat oleh mata.
Ini adalah variable yang sangat subyektif. Karena,penglihatan mata itu bergantung kepada siapa yang melihat, dan dimana posisi dia saat melihat, serta keadaan alam yang menyertainya. Yang melihat orang tua yang mulai lamur tentu berbeda dengan anak muda yang penglihatannya masih tajam. Posisi melihat di pantai, di lembah dan di puncak gunung, tentu juga akan menghasilkan data yang berbeda. Posisi di negara tropis, dengan negara subtropis juga akan memunculkan hasil yang berbeda. Termasuk, kondisi awan dan mendung, serta cahaya latar yang terlalu kuat.
Jadi, selama kita mempertahankan variable subyektif ini, selamanya penetapan Ramadan dan hari raya akan terus kontroversial. Bukan hanya yang menganut metode Rukyat, melainkan juga bagi yang menganut metode wujudul hilal. Karena, metode yang disebut sebagai Hisab Hakiki itu ternyata juga masih bergantung pada variable subyektif, yakni mempersyaratkan hilal harus berada di atas horizon – berapa derajat pun ketinggiannya. Seperti tahun 2013 ini, ketinggian hilal cuma sekitar 0,75 derajat.
Dengan ketinggian sekian, hilal pasti tidak akan terlihat oleh mata dimana pun pengamat kita berada, sekaligus akan berada di bawah horizon bagi saudara-saudara kita yang berada di wilayah Indonesia bagian Timur. Wilayah Indonesia menjadi terbelah dua: yang bagian barat bisa mendapati hilal di atas horizon tapi tak terlihat, sedangkan yang bagian timur bakal mendapati hilal di bawah horizon, yang tentu saja juga tak terlihat. Jika kawan-kawan pengguna metode wujudul hilal konsisten, mestinya Indonesia bagian barat memulai puasa tanggal 9 Juli 2013, sedangkan yang bagian timur tanggal 10 Juli 2013. Tetapi, maklumat PP Muhammadiyah menetapkan seluruh wilayah Indonesia memulai awal puasa pada 9 Juli 2013.
Terasa ada ‘ganjalan’ dalam keputusan ini. Kenapa, meskipun bagi wilayah Indonesia Timur hilal berada di bawah horizon, ketetapannya mengikuti yang bagian barat? Tentu ini harus bisa diselesaikan dengan tanpa ‘ganjalan’. Sebagaimana juga ketika kita mengritisi ‘ganjalan’ subyektivitas pada metode Imkanur Rukyat. Disinilah saya mencoba mengajukan ‘solusi jalan tengah’. Kriteria utamanya adalah dengan menghilangkan faktor-faktor subyektif pada kedua metode tersebut, dan memakai faktor-faktor obyektif yang sama-sama dimiliki oleh keduanya.
Selama ini, yang kita permasalahkan adalah perbedaan dari keduanya. Ibarat kutub utara dan kutub selatan yang tidak mungkin dipertemukan. Padahal kedua metode itu memiliki kesamaan faktor obyektif yang sangat kukuh secara ilmiah. Sehingga jika kita menggunakan faktor tersebut, kedua metode itu bakal bertemu di satu titik yang sama dan kokoh. Variabel obyektif yang sama itu adalah ijtimak.
Dalam setiap sidang isbat, kedua belah pihak yang selama ini berbeda sebenarnya selalu sepakat dalam hal ijtimak. Ijtimak adalah kejadian alam yang tak bisa dibantah oleh siapa pun, bahwa matahari, bulan dan bumi berada dalam posisi segaris atau sebidang. Ini menjadi penanda bulan akan memasuki fase baru dalam bentuk penampakan bulan baru alias hilal.
Tahun lalu, kedua metode itu sama-sama berpendapat bahwa ijtimak alias konjungsi matahari-bulan-bumi terjadi pada tanggal 19 Juli 2012, sekitar pukul 11.30 wib. Dan tahun ini, insya Allah juga akan bersepakat terjadi pada tanggal 8 Juli 2013, sekitar pukul 14.14 wib. Itulah saat-saat bulan Syakban sudah habis dan memasuki bulan Ramadan. Kalau kriteria ini ditegaskan, maka seluruh umat islam di muka bumi akan memiliki kriteria yang sama, dan akan memulai berpuasa di awal Ramadan yang sama.
Bedanya hanyalah, setiap wilayah mesti menunggu tenggelamnya matahari yang memang berbeda-beda seiring posisi garis lintangnya. Di Indonesia, saat matahari tenggelam di waktu maghrib, tanggal 1 Ramadan sudah datang, dan bisa melaksanakan shalat tarawih. Sedangkan di Arab Saudi, maghrib baru akan datang 4-5 jam kemudian, baru bisa melaksanakan shalat tarawih.Tetapi semuanya sudah masuk Ramadan. Tidak ada lagi peristiwa rebutan tanggal 1 Ramadan, yakni: ada yang menyebut 1 ramadannya besok, dan ada yang menyebut 1 ramadannya lusa, apalagi di dalam suatu wilayah negara. Umat islam bakal memiliki persepsi yang seragam terhadap kalender Hijriyah.
Saya sungguh khawatir, jika penanggalan Hijriyah ini dipersepsi secara berbeda terus menerus dan ‘merepotkan’ setiap tahun, penanggalan ini akan ditinggalkan penggunanya – sebagaimana belasan kalender yang pernah ada dalam sejarah – karena dianggap tidak praktis untuk digunakan sebagai patokan aktivitas keseharian. Padahal, sebenarnya kita saja yang kurang tepat dalam memperlakukannya, dikarenakan berbagai kepentingan sempit.
Secara lebih teknis, berbagai argumentasi ilmiah maupun syar’iyah tentang usulan solusi jalan tengah ini, tidak mungkin saya tuangkan semuanya disini dikarenakan halaman yang terbatas. Tetapi saya sudah mengirimkan buku saya kepada pemerintah dan pihak-pihak yang terkait untuk mengusahakan jalan tengah ini. Harapan saya, tahun ini bisa memulai awal Ramadan bersama. Namun, jika belum bisa, setidak-tidaknya tahun depan. Karena di tahun 2014 itu kita masih akan menghadapi masalah yang sama lagi: potensi perbedaan awal Ramadan..! Ah, semoga Allah membimbing kita semua di jalan yang diridhai-Nya, untuk menyatukan umat ini. Wallahu a’lam bishshawab.

Semoga Ramadan kali ini mampu memberikan pelajaran penuh hikmah kepada kita semua untuk menjadi orang-orang yang ta’muruuna bil ma’ruf watanhauna ‘anil munkar watu’minuuna billah’ sebagaimana diajarkan Allah dalam firman di atas. Masa depan umat ini berada di tangan kita semua… Wallahu a’lam bissawab.

SEBAGAI metode baru, usulan saya ini memang harus terus DIKAJI dan DIUJI. Salah satunya adalah dengan menerapkan kriteria Ijtimak Qobla Ghurub (IQG) pada data ijtimak internasional. Lantas, bandingkanlah dengan 2 metode lainnya: Wujudul Hilal (WH) dan Imkan Rukyat (IR). Seberapa akuratkah metode IQG dibandingkan metode yang lebih dulu ada? Dan lebih banyak mana masalah yang ditimbulkannya?
Berikut ini saya melakukan analisa selama 30 tahun, antara tahun 2010 s/d 2040, dengan menerapkan kriteria masing-masing metode. Ini sebagai pengembangan dari pembahasan data yang telah saya cantumkan dalam buku DTM-36: ‘Jangan ASAL Ikut-ikutan HISAB & RUKYAT’. Parameter yang diujikan adalah metode manakah yang paling BERMASALAH dalam hal MEMBELAH suatu wilayah negara ketika awal Ramadan telah menjelang, sehingga memunculkan DUALISME awal Ramadan. Hasilnya, sungguh MENAKJUBKAN..!
Yang paling banyak bermasalah ternyata adalah metode IMKAN RUKYAT (9 tahun bermasalah dalam kurun 30 tahun). Urutan kedua ditempati oleh metode WUJUDUL HILAL (6 tahun bermasalah dalam kurun 30 tahun). Dan urutan ketiga ditempati oleh metode IJTIMAK QOBLA GHURUB (0 masalah dalam kurun 30 tahun). Selebihnya, silakan di-cross check dan dihitung sendiri biar mantap.. 🙂
Sebagai contoh konkret, tahun 2013 ini perhitungan Wujudul Hilal ‘bermasalah’ karena membelah wilayah Indonesia menjadi dua bagian. Yang Indonesia Barat mendapati hilal di atas horison, tetapi yang bagian timur mendapati hilal di bawah horison. Sehingga memunculkan pertanyaan: yang benar memulai puasa tgl 9 Juli (mengikuti hilal Indonesia Barat) ataukah tgl 10 Juli (mengikuti hilal Indonesia Timur). Demikian pula hasil hisab Imkan Rukyat, akan membelah Indonesia menjadi dua bagian di tahun-tahun yang bermasalah, sebagaimana saya tuliskan dalam tabel berikut ini.
Perbandingan potensi masalah pada ketiga metode IQG, WH & IR,
berdasar data ijtimak akhir Syakban selama 30 tahun, 2010 s/d 2040

Sekedar mengingatkan kembali, kriteria IQG sangatlah sederhana. ‘BULAN baru’ ditandai dengan IJTIMAK, sedangkan ‘HARI baru’ ditandai dengan datangnya MAGHRIB.
Sebagaimana saya perkirakan, semakin banyak variable yang diterapkan dalam sebuah metode, semakin banyak masalah yang muncul. Intinya kita harus back to nature, back to basic. Semakin banyak campur tangan manusia, semakin besar distorsinya. Karena sesungguhnya, Allah telah menciptakan tatanan alam semesta dengan desain yang sempurna.
QS.Yunus (10): 5
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (fase-fase) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kekuasannya-Nya) kepada orang-orang yang berilmu.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Renungan Ramadhan 1434 H. 4.5 5 Share Rabu, 10 Juli 2013 Catatan Ringan. Ramadhan di Indonesia memang unik, seringkali terjadi perbedaan penentuan awal puasa dan hari raya antar beberapa golongan (...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Catatan Ringan. All Rights Reserved.